Banyak
cerita yang ingin aku ceritakan. Namun mulutku seakan tak berlidah. Tak kuasa
hanya sekedar berbicara. Banyak huruf yang ingin aku tuliskan. Namun jemariku
seakan tak bertulang. Tak kuasa hanya sekedar menuliskan sebait kata.
Sore
ini hujan. Derasnya tak mengijinkanku keluar ruang. Hanya berdiam diri, melihat
dari kejauhan sebuah rak dengan sekelebat buku yang kubeli namun tidak ku baca
sama sekali. Hujan membuat ruangan ini mendingin. Aku putuskan untuk menyeduh
secangkir kopi di sore yang teralu sore. Lalu pikiranku mengkhayal terbang ke
udara, bersama asap yang mengepul dari dalam cangkir berwarna putih gading ini.
Sebuah khayalan tentang mimpi, tentang impian, tentang sebuah drama kehidupan
yang mereka sebut dengan: masa depan.
Sebenarnya
tak ada senyum, melainkan seseorang yang tersenyum. Tak ada gigi yang sakit,
melainkan kita melihat beberapa orang yang menderita sakit gigi. Tak ada gelap,
melainkan hanya kekurangan cahaya. Begitu pula dengan kebahagiaan, tak ada
kebahagiaan, melainkan kita melihat orang-orang yang berbahagia. Ya,
berbahagia.
Seorang
teman disana, pergi ke salon setiap hari. Suntik putih seminggu sekali. Semua
toko baju dan butik bergengsi sudah ia masuki. Semua itu ia lakukan demi
mendapatkan baju dengan model masa kini. Orang tuanya kaya, katanya. Tak mau
tau dengan orang tuanya yang bekerja apa, bagaimana, bla bla bla yang penting
uangnya ada. Seorang teman disana, sedang berlibur ke luar negri untuk beberapa
hari. Orang tuanya kaya raya, katanya. Tak menjadi masalah jika uangnya dipakai
untuk berlibur, lagi, lagi dan lagi. Seorang teman disana, baru saja membeli
gadget baru. Sekotak kaca berteknologi menyerupai nampan pembawa makanan, namun
elegan. Orang tuanya kaya raya, katanya. Tak akan habis uangnya dipakai untuk
membeli gadget yang dia suka hari ini, mungkin besok ada gadget baru, dan mungkin
ia akan membeli lagi.
Ah.
Terkadang aku mempunyai penyakit berbahaya di hati, namanya iri. Ya! Aku iri.
Iri dengan mereka yang bisa melakukan apa- apa, apa saja. Kenapa? Kau mau
mengataiku si fakir? Ya. Aku fakir. Orang tuaku tak bisa memberiku uang untuk
ke salon setiap hari, orang tuaku tak bisa memberiku uang untuk berlibur keluar
negri. Bahkan untuk membeli gadget baru saja, orang tuaku harus memikirkan dua
kali.
Kita
memang hidup dalam sekat- sekat. Pengotakan. Itu yang terkadang sesekali
mengobati rasa iriku dalam hati. Aku tahu diri. Aku tak punya materi berlebih. Aku
hanya punya mimpi. Hahaha! Lagi- lagi mimpi. Ya, mimpi yang sudah ku tulis rapi
di buku diary. Dan anehnya, sesekali aku merasa menjadi golongan orang- orang
yang berbahagia. Ya, karena aku punya mimpi. Yang seorang teman disana tak
punya. Mereka memikirkan hidup hanya untuk hari ini. Untuk urusan mimpi, mereka
tak ambil peduli. Bahkan untuk memejamkan mata saja mereka takut, bagaimana
mereka akan bermimpi? Meskipun dengan materi, mereka tak bisa membeli mimpi.
Tak
terasa malam semakin larut. Jam digital berbentuk segitiga yang tertempel di
dinding ruang telah menunjukkan pukul 10 lebih 52 menit. Memetik khayalan sore tadi, perlu kiranya pemahaman lebih tentang
antropologi filosofi. Aku lupa siapa pencetusnya, adalah tentang tujuannya yang
berisi sebentuk motivasi, dalam melawan sisi buruk diri. Jangan terlalu iri
dengan kebahagiaan orang lain. Bukankan setiap orang mempunyai hak untuk
bahagia? Ya, daripada lama- lama penyakit iri menjalar dan menggerogoti ke
setiap pembuluh darah ini, menjadi diri sendiri adalah pilihan baik. Dan
terakhir, sebelum semuanya benar-benar lelap pada pekat malam, selamat memejam
mata. Jangan takut untuk bermimpi, hingga nanti mata terbuka kembali.
***
karena, mimpi tidak bisa dibeli.. |
Titonas
-Purwokerto, di dalam sekotak ruang (yang juga) penuh
dengan mimpi-mimpi -
12 Desember 2012
NB:
Di dedikasikan untuk seorang teman yang mempunyai segudang mimpi namun masih
selalu iri, dan serba ingin lebih materi. Hei! Sungguh beruntung kamu yang
masih mempunyai mimpi. Karena mimpi tak bisa mereka beli dengan materi.
0 komentar:
Posting Komentar