haloo . call me TITON. simple . t-shirt . FULL COLOR . of jeans . shoes . hairspray . hair clamp . jacket . long black hair . always carry the bag where it was . bodorr gilllaaa :D. humor. fault0finding . can not be silent . not thin . hahaha *)) . not colored nor white ? so ? you think by themselves . haha !

. SO ? .

what was i ! this is me myself and i characterize the nature of me. however i really love myself and my life . i really love it . life is dream and i must continue from this sec !
i sure , i can , can , i can get this :)) *




___________________________________________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________________________________________



Minggu, 02 September 2012

Hai, kamu? Punya mata? Untuk apa?



          Pada suatu ketika, pernah aku kerja praktek lumayan lama. Pada sebuah institusi Kehumasan di bagian hiruk pikuk kota. Sama seperti institusi kehumasan lainya,  disini aku berkontribusi layaknya buruh serabutan. Aku bisa bekerja merangkap menjadi apa saja. Dari menjadi MC di setiap kegiatan, hingga terlibat dalam pembuatan film dokumenter. Dan, sekali lagi. Terimakasih Tuhan, aku beruntung diberi kesempatan untuk merauk sekarung pengalaman yang bisa kubawa pulang.
***

          aku adalah seorang yang selalu mencatat kronologi kejadian di buku diari, di sana tercatat: 16 Juli 2012,
hari terakhir pembuatan film. Aku, bersama tiga rekan kerja lainya, harus mengurutkan jadwal akan kemana saja hari ini. Dan hari ini adalah jadwal dimana kami harus menyambangi ke setiap sekolah. “oke!” Chek list selesai. Hari ini kami akan mengambil gambar di seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta. Dari playgroup hingga SMA. Karena di kejar deadline, masing masing dari kami membawa kamera. Kami memulai take picture dari matahari pagi pertama, siang meradang hingga nanti senja sore menjelang. Ah! aku sangat menikmati setiap butir tetes keringat yang melintas dari kening meluncur bebas hingga lekuk leherku. Tak ada keluh. Hanya hati yang bungah, bisa melihat tawa canda siswa siswi disetiap sekolah yang kami datangi saat itu. Satu sekolah. Dua sekolah. Tiga sekolah, empat hingga lima sekolah.

          Hari semakin siang. Matahari tak jengah hantarkan panasnya. Sinarnya membentuk garis imajiner tegak lurus ke kepala. Menyengat hingga membuat rambutku basah keringat. Kini, aku tiba di sebuah sekolah. Awalnya aku kira ini bukan sekolah. Karena ukuranya terlalu kecil. Tak seperti sekolah pada umumnya. Pula pohon yang mengelilingi, kerdil dan hampir mengering. Mungkin tak sempat disirami. Dengan membawa seonggok kamera, aku berjalan melewati gapura yang bertuliskan “Sekolah Luar Biasa” yang sudah miring beberapa derajat ke kiri akibat terpaan angin.  Disana sini, cat tembok mulai mengelupas, barangkali akibat guyuran hujan dan  terik panas. 

***

          “eh” aku terhenyak. Tersadar, aku tertinggal sendirian di belakang akibat terlalu lama mata ini memandang sekitar dengan jalang. Dan mungkin mereka bertiga sudah sampai ke ruang TKP duluan. Kemudian aku bergegas memasuki lorong  sempit menuju sebuah ruang yang mungkin juga sempit. Aku berjalan dengan memiringkan badan karena tembok yang berhimpit. Aku juga harus merunduk agar kepalaku tidak ikut kejedug sebab atap bangunan yang terlalu rendah bahkan hampir ambruk. Dan? Yeah! Akhirnya aku berhasil melewati lorong sempit tersebut meski bajuku sedikit kotor karena bongkahan tembok yang jatuh tersenggol oleh tubuhku barusan.

          Ternyata disana tiga rekanku sudah bersiap mengambil gambar di dalam sebuah ruang yang sudah di setting sedemikian rupa. Ah. Barangkali mereka sudah memulai “take” daritadi. Mereka terlalu fokus, dan aku tak ingin menganggu. Aku pilih duduk saja, pikirku. Menunggu mereka, sambil melepas lelah yang menggelayut punggung dan kakiku. 

          Aku duduk di kursi koridor sekolah. Aku mencoba meluruskan kaki. Memijat- mijat bagian lutut yang terasa pegal sekaligus nyeri. Aku sedikit penasaran. Dengan suasana tenang di ruang sebelah kiri. Padahal ruang yang lain gaduh oleh sorak siswa siswi. Kutengokan wajahku ke kiri sesekali. Dan. Kini mataku beradu dengan pemandangan luar biasa sekali. Mataku mencoba mengelilingi ruang lalu memperhatikan setiap isi. Setiap inci. Mulutku diam, terkunci. Aku tak bisa berkata lagi apalagi berbasa- basi. 

          Mataku mencoba menceritakan apa yang dilihatnya. Katanya, ia melihat seorang siswi perempuan berumur 9 tahunan. Rambutnya dibaluti kerudung putih. Hidungnya penuh dengan lendir. Ingus kering memenuhi mukanya yang hitam nan kusam. Bajunya putih menguning menutupi kerontang badanya. Rok coklat pudar. Ia tengah duduk di sebuah bangku rapuh sambil membaca buku. Membaca? Bukan. Bukan membaca. Siswi itu sedang meraba buku. Iya. Meraba buku. Kenapa meraba? Bukankah sebuah buku itu untuk dibaca? Olala. Siswi itu ternyata tak bermata. kelopak mata bagian atas mengatup dan melengket pada bulu mata bagian bawah. Bola matanya tak nampak. Kedua matanya buta. Tak bisa melihat apa- apa. Namun tanganya berusaha meraba sebuah buku berhuruf “braille” dengan seksama. Kemudian mengeja huruf demi huruf yang dirabanya lalu dirangkai menjadi sebuah kata. Sebuah kalimat yang sempurna.  Sebuah alinea yang tertata. Dan Ia berusaha mengejakan kalimat itu meski dengan terbata- bata. “I-n-d-o-n-e-s-i-a- -t-a-n-a-h a-i-r- -k-u I-n-d-o-n-e-s-i-a k-e-b-a-n-g-g-a-n-k-u”. begitu ejanya. Ia kembali mengeja dan mengeja huruf braille yang disentuhnya.  Ya. Ia seorang siswi tuna netra yang sangat bersemangat membaca. 

          Seperti ada batu besar menguasai rongga. Lidahku kelu. Mulutku tercekat. Dadaku tertohok. Dan ketika fisikku tidak bisa lagi untuk sekedar menuturkan kata, maka air mata adalah satu- satunya cara untuk mengatakan semua. Semuanya. Sesak. Perih. Sedih. Sekaligus kagum.  Dan yang aku lakukan hanya sekedar melebarkan kelopak mata agar bendungan air tidak menderas. 


***


          Aku masih terdiam duduk  di sebuah ruang kamar ber-cat putih ini.  Kepalaku mengadah keatas. Lagi- lagi menahan butiran yang bersiap meleleh di pipiku. Pikiranku mencoba menguraikan satu persatu rasa yang menggumpal. Sebuah kenangan lembut juga meneduhkan. Melayang ingatan seiring pandang. Ya ya ya. Aku ingin. Aku ingin seperti dia.

*gambar oleh gigih hiruma*

          Seorang tuna netra yang memberiku satu tamparan. Seorang tuna netra yang memberiku satu pesan dari Tuhan. Seorang tuna netra, namun gigih untuk membaca meski dengan meraba. Seorang tuna netra yang mengeja kata menjadi kalimat meski terbata- bata. Seorang tuna netra mengenggam buku demi mengubah dunia.  Seorang tuna netra yang selalu memberiku api tekad mengubah dunia ketika mengingatnya.
Dia seorang tuna netra. Dia seorang buta. Namun tetap membaca.

          Sedangkan...

          Aku adalah seorang dengan fisik sempurna, aku punya mata, seharusnya dapat menirunya. Meniru semangatnya. Semangat untuk membaca. Membaca dan membaca. Aku harap, kamu juga bisa. Aku harap, kita dapat mengubah dunia. Bersama- sama.




aku bermata, kamu?




-titonas-
Tegal, 30 Agustus 2012
Hai, kamu punya mata? Mari membaca! Kita ubah dunia! bersama- sama.

0 komentar:

Posting Komentar

Domo-kun Cute