Hitung. Berapa kali aku
ingin menciptakan puisi berjudul : Ibu. Tapi, gagal pada akhirnya.
Bukan mengapa. Tak cukup satu lembar , dua lembar bahkan seratus lembar.
Bagiku, kehebatanya tidak bisa disamaratakan dengan helaian kertas bahkan
dengan apa. Tuhan mengirim wanita itu tuk meracik segala bahagia. Dengan segala
cara. Manis.
Dia, tak ada sebutan yang
lebih cocok selain dewa. Datang untukku saat peluh mengada. Sepeti kunang-
kunang datang memberi satu titik cahaya. Terang, melebihi purnama. Dia. seperti
sang induk yang mampu membuatkan elok sarang. Lihat! Senja telah hilang. Hampir
malam. membuat jasmaniku sekonyong- konyong ingin memeluk segera.
Tidak semua malaikat
memiliki sayap dan lingkar cahaya dikepalanya. Aku. mempunyai seribu alasan
untuk merindunya. Ada semacam hangat berlebih. Hingga mampu pugarkan beku
otakku. Terlihat cahaya terang keemasan yang keluar dari bilik hatinya. hanya
menjelaskan , terdapat kesucian yang mengabdi, disana, dihatinya.
kini. kulihat matanya
berkantung. Tak sebugar mudanya. Dia menua. Rambutnya mulai
memutih. keriput telah mendominasi lingkar wajahnya. Entah kenapa, ia tetap
mempesona. Menawan . seperti pasir pantai yang menyimpan sejuta kekuatan ditiap
butirnya.
DIA !
Siapa ?
“Wanita,
inspirasiku”
Mengapa ?
“Bersamanya
adalah tenang. Sangat agung, kesempurnaan tertinggi”
Lalu?
“Aku
teramat mencintainya. Dalam temaram . janjiku, berita masa tuanya ada
ditanganku”
Seminggu yang lalu. aku
memandangnya. Dia tertidur dalam lelahnya. Lalu, aku berbisik. Lirih.
“Ibu,
ijinkan aku membahagiakanmu. lebih dari jutaan kali lipat
kebahagiaan yang kau berikan padaku”
Cium
dikening. Selamat malam. Peluk. Ibu.
Ibu Negara di keluarga |
Anakmu ; TitonAnastyan
Kamis, 30 September 2011
Purwokerto, dikamar kosan, berantakan.*
hahahaha . berbakat banget lo dul ! kereeen . salam buat ibu lo ya . terimakasih sudah melahirkan anak semanis dan sebaik lo .
BalasHapus