Hai
leluka. Selamat datang.
Leluka. Terkadang hidup itu indah, seperti kepakan sayap malaikat. Tapi lebih
sering kurasakan hidup itu seperti iblis keparat! Kepala seperti dibebani oleh
setumpuk besi berkarat. benar- benar berat. Oh, sungguh penat. Kini, mataku
memerah. Sebab manik- manik air mata telah terkuras habis. kantung mata kering
sudah. Otaku mendidih parah. Lemari pendingin pun tak guna lagi. Aku butuh
sepuluh truk pengangkut es! Sekedar mengempeskan lebam mataku yang sayu tak
bernyawa.
Leluka. Puas kau? melihat lelehan air mataku, yang turun menajam dipelipis
hingga pipiku. Apa pedulimu? saat mataku membengkak seperti dikeroyok ratusan
massa. Hahaha, nyeri! leluka. Racun macam apa yang sudah kau racik hingga
otakku sedemikian adanya. Seperti rupa cairan neraka yang kian membuncah.
Katamu, ini adalah rasa yang tak terdefinisi? Ya ya ya .
Hai,
kamu lelakiku ..
Terlanjur sudah kutitipkan rambut putihku ini padamu. Tapi ketika waktu menelan
sejuta mahodaya, yang kutemukan hanyalah sisa- sisa kenangan yang enggan
menyingkir. Bukan buih yang memenjarakanmu. Tapi perempuan lain yang merantai
hatimu. Sesak. aku ingin beberapa jenak tuk bernafas. namun sulit! Getir yang
kamu beri, telah menggerojok tenggorokanku. membuat perih tanpa bisa berkata.
Lelakiku
..
Bagimu, aku hanya penghianat kecil yang mecoba memohon belas kasihan. Bersimpuh
untuk memaafkan segala kesalahan. Dan picik berkeingininan kembali mengenang
kekasih lama sepertimu? Meski ya, itu sama sekali tidak benar, lelakiku.
Lelakiku,
Apa kau juga merasakan apa yang kurasakan?
Mungkin tolol. Kalau aku menginginkan kamu kembali padaku. Merajuk dengan
tuturan tulus. Bersimpuh, persis seperti pertama kali kau bertekuk
menginginkanku. -ah, tiba2 kenangan itu menyeruak lagi. Ngilu! Kenangan
satu persatu mendengung dalam tempurung kepalaku, hingga kuingat indahnya masa
lalu. Igatkah kamu, lelakiku? Saat ombak menerpa kita berdua, ketika senja di
pantai dengan air yang membiru? Saat kamu dan sepoi angin berlomba
membelai rambutku? Berteman awan kita bagaikan simbiosis mutualisme mutlak,
berteman debu. Disitu. Disitu kau janjikan kebahagian padaku. Hingga senja berganti
malam, hidung kita-pun beradu.
Lelakiku..
Ah.. mengapa kau harus tersenyum dan sengaja memperlihatkan gigi kelincimu?
Sekali lagi. Akulah pemilik senyumu. Aku tak ingin berlalu. Dengar! Kali ini
aku bukan sedang merayu, layaknya anak ingusan yang baru mengenal cinta semu.
aku hanya wanita biasa. Yang terbiasa bisa. Lalu, bisakah kita bersama lagi,
seperti dulu?
Lelakiku
..
Ingin sekali rasanya kuberikan kemeja biru impianmu, yang sekarang kubawa didalam
tas coklatku. Sekalian dengan sepatu yang sudah dua tahun lamanya
kusimpan saja. Olala!! Serupa tanda Tanya dalam seru. Dan?“hahaha”
Tawaku. Terlebih karena kini kulihat ada cincin emas melingkar dijari manis
kananmu. Entah apa, tapi aku benci melihatnya. Kini aku terbahak, sampai
menangis malah.
Leluka,
leluka keparat. sepertinya kini senja telah bias dan terderai. Aku terlambat.
Sia- sia. Sudah.
aku terbahak, sampai menagis malah |
-TitonAnastyan- Tegal , 25 Juli 2011 / nothing*
0 komentar:
Posting Komentar